Rabu, 20 Agustus 2014

Makalah Al Istihsan



AL-ISTIHSAN
MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul fiqh
Semester ganjil tahun akademik 2013-2014


 










Oleh:
Sumari (2012791102313)




JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL KHOZINY
BUDURAN SIDOARJO

2013







LEMBAR PENGESAHAN


Makalah ini telah diperiksa dan disahkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh Semester Ganjil Tahun Akademik 2013-2014
Jurusan Pendidikan Agama Islam STAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo


Sidoarjo,1 Oktober 2013
Dosen Pembimbing


Drs.H.NUR SYAHID, M.Pd.I















ii

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. segenap keluarga dan para sahabat beliau, terlimpah pula kepada segenap kaum muslimin dan muslimat selaku umat beliau.
Dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Ushul fiqh semester ganjil tahun akademik 2013-2014 jurusan PAI STAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo, penulis telah berhasil menyusun. Makalah Al-Istihsan”.
Penulisan makalah ini didasari oleh pemikiran tentang pentingnya kualifikasi dan kompetensi guru dalam Pendidikan Agama Islam sehingga dapat meningkatkan kualitas pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah/madrasah.
            Kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis mengucapkan terimakasih terutama kepada :
1.      Bapak Drs.H.Nursyahid, MPd.I., selaku dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh STAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo.
2.      Bapak/Ibu Dosen dan karyawan STAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo.
3.      Rekan-rekan mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam semester III Tahun Akademik 2013-2014 STAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, untuk itu segala kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sangat penulis harapkan demi perbaikan selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam meningkatkan kualitas pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah/madrasah.

Sidoarjo,1 Oktober 2013

Penulis






iii



DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................................................i
Halaman Pengesahan ................................................................................................................ii
Kata Pengantar .........................................................................................................................iii
Daftar Isi ...................................................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah ................................................................................................1
B.     Rumusan Masalah .........................................................................................................2
C.     Tujuan dan Manfaat Penulisan ......................................................................................2
D.    Sistematika Penulisan ....................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Definisi Istihsan.............................................................................................................4
B.     Macam-Macam Istihsan................................................................................................5
C.     Dasar Hukum istihsan...................................................................................................7
D.    Kekuatan istihsan sebagai hujjah................................................................................11
E.     Alasan ulama’ yang tidak berhujjah dengan istihsan...................................................11
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan ..................................................................................................................12
B.     Saran ............................................................................................................................13

Daftar Pustaka

iv
1
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar belakang masalah
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath  tetap berada pada koridor yang semestinya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu: Istihsan, istishab, Maslahah mursalah, Urf, Saddudzari’ah, dan madzhab sahabi.
Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat Istihsan, yang mencakup pengertian, macam-macamnya, kehujjahannya, kaidah-kaidahnya, dan contoh-contoh produk hukumnya.



2
B .Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penulisan dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana deskripsi istihsan ?
2.      Apa macam istihasan?
3.      Apa dasar hukum istihsan?
4.      Bagaimana pendapat ulama yang  berhujjah dengan istihsan dan bagaimana pendapat ulama yang tidak berhujjah dengan istihsan?

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.      Tujuan Penulisan
a.       Mengetahui deskripsi alistihsan dalam Pendidikan Agama Islam.
b.      Memenuhi tugas mata kuliah Ushul fiqh semester III tahun akademik 2013-2014.
2.      Manfaat Penulisan
a.       Secara teoritis penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap khazanah ilmu Pendidikan Islam dalam bidang mata kuliah ilmu ushul fiqh.
b.      Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan karya tulis selanjutnya. 


D.Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam kajian ini adalah sebagai berikut:
Bab I, Pendahuluan, terdiri atas: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.

3
Bab II, Pembahasan, terdiri atas: Definisi al ihtisan, macam-macam al istihsan, dasar hukum istihsan, Kekuatan istihsan sebagai hujjah, Alasan ulama’ yang tidak berhujjah dengan istihsan.
Bab III, Penutup, terdiri atas: kesimpulan dan saran.



4
BAB II
PEMBAHASAN


A.    Definisi Al Istihsan

1.1                   Makna Etimologi
Istihsan menurut Etimologis (lughowi/bahasa)  adalah menganggap baik sesuatu[1]. “Memperhitungkan sesuatu lebih baik”, atau “adanya sesuatu itu lebih baik”, atau “mengikuti sesuatu yang lebih baik”, atau  “”mencari yang lebih baik untuk di ikuti, karena memang di suruh untuk itu”[2]. Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun  hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain[3]

Dari lughawi di atas tergambar adanya seseorang yang menghadapi dua hal yang keduanya baik. Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu di antaranya dan menetapkan untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang di anggapnya lebih baik untuk diamalkan.

1.2                   Makna Terminologi
Istihsan menurut terminologi/istilah ulama’ ushul adalah beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari tuntutan kias yang nyata kepada kias yang samar atau dari hukum umum kepada perkecualian karena  ada kesalahan pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan itu[4]. Adapun pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf [5].
هو عدول المجتهد عن قياس جلى الى مقتصنى قياس خفى او عن حكم كلى الى حكم استسنائي انقدع فى اقله رجع لديه هذ العدول
“Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut”.
Definisi istihsan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpanagan itu.
Definisi istihsan menurut Ibnul Araby ialah memilih meninggalkan dalil, mengambil ruksah dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain pada sebagian kasus tertentu.
Sementara itu, ibnu anbary, ahli fiqih dari madhab Maliky memberi definisi istihsan bahwa istihsan adalah memilih menggunakan maslahat juziyyah yang berlawanan dengan qiyas kully[6].Istihsan merupakan sumber hukum yang banyak dalam terminology dan istinbath hukum oleh dua imam madhab, yaitu imam Malik dan imam Abu Hanifah. Tapi pada dasarnya imam Abu Hanifah masih tetap menggunakan dalil qiyas selama masih dipandang tepat[7].
Apabila terjadi sesuatu peristiwa yang tidak dapat nash hukumnya, maka dalam pembahasannya ada dua pendapat yang berbeda: sudut pandang lahiriyah yang menghendaki suatu hukum. Dan sudut pandang secara tersembunyi yang menuntut hukum  yang lain. Seorang mujtahid menemukan dalil yang memenangkan pandangan  secara tersembunyi, lalu pindah ke sudut pandang lahiriyah. Inilah yang menurut syara’ yang disebut alistihsan. Demikian juga jika hukum itu bersifat umum, sedangkan dalam diri mujtahid ada dalil yang menuntut pengecualian atas sebagian hukum umum ini, lalu ia menghukumi perkecualian itu dengan hukum yang lain. Maka ini juga di sebut al ihtisan.


6

B.Macam-macam al istihsan
Dari pengertian al ihtisan secara syara’ dapat di tarik kesimpulan bahwa alistihsan ada dua macam[8]:
1. Mengunggulkan kias yang tersembunyi atas kias yang nyata dengan suatu dalil.
2. Mengecualikan sebagian hukum umum dengan suatu dalil.
Contoh-contoh istihsan bentuk pertama:
1. Ulama fiqh kelompok hanafi menyebutkan bahwa seorang yang mewakafkan tanah sawahnya maka hak pengairan, minum dan jalan adalah termasuk   tanpa harus menerangkan secara istihsan. Sedangkan menurut kias, hal-hal itu tidak termasuk kecuali dengan nash, seperti halnya jual beli. Adapun bentuk istihsannya; Tujuan wakaf adalah orang yang di beri hak wakaf dapat memanfaatkan barang yang di wakafkan. Sedangkan pemanfaatan tanah sawah itu harus memberi minum, mengairi, dan jalan, sehingga hal-hal itu termasuk wakaf tanpa menyebutkannya. Karena tujuan tidak dapat terwujud kecuali dengan hal-hal itu, seperti halnya sewa menyewa.
Kias yang nyata adalah menyamakan wakaf  contoh diatas dengan jual beli, karena sama-sama mengeluarkan hak milik dari pemiliknya. Sedangkan kias yang tersembunyi adalah menyamakan wakaf tersebut dengan sewa menyewa, karena sama-sama demi pemanfaatan. Seperti masuknya pengairan, minum dan jalasedn dalam bagian sewa menyewa tanah lumpur tanpa menyebutkannya, maka hal-hal itu masuk juga dalam bagian wakaf tanah lumpur tanpa menyebutkannya.
Ahli fiqh  ulama hanafi menetapkan bahwa jika terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli tentang harga barang sebelum barang itu diterima, lalu penjual mendakwa bahwa harganya seratus pound sedangkan pembeli juga mendakwa bahwa harganya sembilan puluh pound  maka keduanya harus bersumpah, menurut istihsan. Sedangkan kias menetapkan bahwa penjual tidak bersumpah, karena penjual yang mendakwa  lebih banyak, yaitu sepuluh, sedangkan pembeli mengingkari, maka penjual tidak wajib bersumpah. Alasan istihsannya bahwa penjual jelas orang yang mendakwa bila dihubungkan dengan tambahan. Pengingkaran adalah hak pembeli dalam penerimaan barang setelah menyerahkan 90 pound. Pembeli adalah jelas orang yang mengingkari adanya tambahan yang di dakwakan oleh penjual yaitu sepuluh, dan ia adalah pendakwa tentang hak penerimaan barang setelah
7
menyerahkan 90 pound. Jadi keduanya adalah pendakwa dari satu sisi dan orang yang di ingkar di sisi lain, maka keduanya harus bersumpah.
Kias yang nyata: Menyamakan kejadian ini dengan semua yang terjadi antara pendakwa dan orang yang ingkar, kesaksian itu wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkari.
Kias yang tersembunyi: Menyamakan kejadian di atas dengan setiap kejadian antara dua orang yang saling mendakwa. Masing-masing dalam waktu bersamaan dikatakan sebagai pendakwa dan sekaligus orang yang ingkar, maka keduanya harus bersumpah.
Contoh-contoh istihsan bentuk kedua:
Syar’i melarang jual beli atau akd pada barang yang tidak ada di tempat akad. Tetapi secara istihsan, diperbolehkan pesan memesan.
C.Dasar Hukum Istihsan
            para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18
tûïÏ%©!$# tbqãèÏJtFó¡o tAöqs)ø9$# tbqãèÎ6­Fusù ÿ¼çmuZ|¡ômr& 4 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# ãNßg1yyd ª!$# ( y7Í´¯»s9'ré&ur öNèd (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$#
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.


8
(#þqãèÎ7¨?$#ur z`|¡ômr& !$tB tAÌRé& Nä3øs9Î) `ÏiB Nà6În/§ `ÏiB È@ö6s% br& ãNà6uÏ?ù'tƒ Ü>#xyèø9$# ZptGøót/ óOçFRr&ur Ÿw šcrããèô±n@ ÇÎÎÈ  

Artinya: Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya. (QS. Az-Zumar: 18)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah
Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
Contoh istihsan macam pertama: Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menuryt qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf.
9
Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan ‘illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Contoh lain adalah mengenai sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Contoh istihsan macam kedua: Syara’ melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kuIIi. Tetapi syara’ memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian (istitana) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.
10
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi,
golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi’i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan: “Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu.”
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi’i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan: “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum”.
11
D.Kekuatan istihsan sebagai hujjah
Dari definisi dan penjelasan kedua macam istihsan, jelaslah bahwa pada hakikatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena dalil hukum yang berbentuk istihsan pertama adalah kias yang tersembunyi yang di unggulkan dari pada kias yang nyata, sebab hal-hal  tertentu oleh mujtahid di anggap lebih unggul, dan itu adalah alasan istihsan. Sedangkan dalil hukum dari bentuk istihsan yang kedua adalah kemaslahatan, yang menuntut
adanya perkecualian bagian tertentu dari hukum umum, dan hal itu juga  di anggap alasan istihsan.
Diantara orang-orang yang berhujjah dengan istihsan adalah mayoritas kelompok hanafi. Mereka beralasan: Pengambilan dalil dengan istihsan adalah mengambilan dalil dengan kias yang samar yang mengalahkan kias yang nyata, atau memenagkan kias atas kias lain yang menentangnya karena kepentingan umum dengan cara mengecualikan sebagian dari hukum umum. Dan semua itu pengambilan dalil yang benar.
E.Alasan ulama yang tidak berhujah dengan istihsan
Sebagian kelompok mujtahid menginkari kebenaran istihsan, mereka menganggapnya sebagai pembentukan hukum berdasarkan hawa nafsu  dan seenaknya sendiri. Diantara tokohnya adalah Imam Syafii, seperti telah di nukil darinya; Siapa yang menggunakan istihsan berarti ia membuat syariat. Artinya orang itu membuat syariat sendiri. Ditetapkan dalam Risalah Ushuliyahnya: perumpamaan orang yang menetapkan hukum dengan istihsan adalah  seperti orang sholat menghadap  ke arah yang di anggap baik itu ka’bah, tanpa menggunakan dalil-dalil yang di tetapkan oleh syar’i dalam menetukan arah ka’bah. Dalam kitab itu disebutkan bahwa istihsan adalah berenak enak, seandainya melakukan istihsan dalam agama itu diperbolehkan, niscaya bolehjuga dilkukan orang-orang yang punya akal meskipun bukan ahli ilmu. Dan niscaya boleh menciptakan Syariat dalam agama di setiappermasalahan, serta setiap orang boleh membuat syariat untuk dirinya sendiri. 





12
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Istihsan adalah mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully(menyeluruh) dengan mengutamakan al-istidlal al-mursal daripada qiyas. Dari Ta’rif di atas, jelas bahwa al-istihsan lebih mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam kata lain sering dikatakan bahwa al-istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Tegasnya, al-istihsan selalu melihat dampak sesuatu ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak merugikan tapi harus mendatangkan maslahah atau menghindari madarat, namun bukan berarti istihsan adalah menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari satu dalil ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya berbeda.
Dari pengertian al ihtisan secara syara’ dapat di tarik kesimpulan bahwa alistihsan ada dua macam:
1. Mengunggulkan kias yang tersembunyi atas kias yang nyata dengan suatu dalil.
2. Mengecualikan sebagian hukum umum dengan suatu dalil.
para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18
Dari definisi dan penjelasan kedua macam istihsan, jelaslah bahwa pada hakikatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena dalil hukum yang berbentuk istihsan pertama adalah kias yang tersembunyi yang di unggulkan dari pada kias yang nyata, sebab hal-hal  tertentu oleh mujtahid di anggap lebih unggul, dan itu adalah alasan istihsan. Sedangkan dalil hukum dari bentuk istihsan yang kedua adalah kemaslahatan, yang menuntut  Dari definisi dan penjelasan kedua macam istihsan, jelaslah bahwa pada hakikatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena dalil hukum yang berbentuk istihsan pertama adalah kias yang tersembunyi yang di unggulkan dari pada kias yang nyata, sebab hal-hal  tertentu oleh mujtahid di anggap lebih unggul, dan itu adalah alasan istihsan.
13
Sedangkan dalil hukum dari bentuk istihsan yang kedua adalah kemaslahatan, adanya perkecualian bagian tertentu dari hukum umum, dan hal itu juga  di anggap alasan istihsan.
kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak istihsān, ki ta dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa istihsān sendiri mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini sebenarnya hanya menolak istihsān yang hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.
B.Saran
 banyak perbedaan di kalangan para ulama mengenai istihsan . Mengenai perbedaan ini sudah kami bahas dan kami jelaskan di makalah ini. Kami menyadari dalam makalah kami ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, dan kami berharap bahwa makalah ini untuk ada yang melanjutkan dan membahasnya kembali.


DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah Muhammad, Ushul Fiqih, (Pustak Firdaus :Jakarta, 1999)
Khallaf Abdul Wahhab, Ilmu ushul fikih, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003)
Syarifuddin Amir, Ushul fiqh jilid II, (Jakarta: Kencana, 2011)
Lih. Lisan al-‘Arab, 13/117



[1] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu ushul fikih, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003), hal. 104
[2] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh jilid II, (Jakarta: Kencana, 2011), hal.324
[3] Lih. Lisan al-‘Arab, 13/117
[4] Opcit hal. 104
[5] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-fikih (Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah,1991), hal.79
[6] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Pustak Firdaus :Jakarta, 1999) hlm.402
[7] Ibid hal.401
[8] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu ushul fikih, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003), hal. 104

3 komentar: