AL-ISTIHSAN
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul fiqh
Semester ganjil tahun akademik 2013-2014
Oleh:
Sumari (2012791102313)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL KHOZINY
BUDURAN SIDOARJO
|
|
Makalah ini telah diperiksa dan disahkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul
Fiqh Semester Ganjil Tahun Akademik 2013-2014
Jurusan Pendidikan Agama Islam STAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo
Sidoarjo,1 Oktober 2013
Dosen Pembimbing
Drs.H.NUR SYAHID, M.Pd.I
ii
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT, shalawat serta salam semoga tetap tercurah
kepada Nabi Muhammad Saw. segenap keluarga dan para sahabat beliau, terlimpah
pula kepada segenap kaum muslimin dan muslimat selaku umat beliau.
Dalam rangka memenuhi tugas
mata kuliah Ushul fiqh semester ganjil tahun akademik 2013-2014 jurusan PAI STAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo,
penulis telah berhasil menyusun. Makalah “Al-Istihsan”.
Penulisan makalah ini didasari
oleh pemikiran tentang pentingnya kualifikasi dan kompetensi guru dalam
Pendidikan Agama Islam sehingga dapat meningkatkan kualitas pembelajaran
Pendidikan Agama Islam di sekolah/madrasah.
Kepada berbagai pihak yang telah
membantu penulis mengucapkan terimakasih terutama kepada :
1. Bapak Drs.H.Nursyahid, MPd.I., selaku dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh STAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo.
2. Bapak/Ibu Dosen dan
karyawan STAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo.
3. Rekan-rekan mahasiswa
Jurusan Pendidikan Agama Islam semester III Tahun Akademik 2013-2014 STAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, untuk itu segala
kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sangat penulis harapkan
demi perbaikan selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam
meningkatkan kualitas pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah/madrasah.
Sidoarjo,1 Oktober 2013
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
Judul ............................................................................................................................i
Halaman
Pengesahan ................................................................................................................ii
Kata
Pengantar .........................................................................................................................iii
Daftar Isi
...................................................................................................................................iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah ................................................................................................1
B. Rumusan Masalah
.........................................................................................................2
C. Tujuan dan Manfaat
Penulisan ......................................................................................2
D. Sistematika Penulisan
....................................................................................................2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Istihsan.............................................................................................................4
B. Macam-Macam Istihsan................................................................................................5
C. Dasar Hukum istihsan...................................................................................................7
D. Kekuatan istihsan sebagai
hujjah................................................................................11
E. Alasan ulama’ yang tidak
berhujjah dengan istihsan...................................................11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
..................................................................................................................12
B. Saran
............................................................................................................................13
Daftar
Pustaka
iv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar belakang masalah
Ilmu Ushul Fiqih merupakan
salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin
melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah
sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini
dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses
ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya.
Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan
Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath
para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti
penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada
sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin.
Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian
ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil
yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang
disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok)
yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi’iyah (sumber yang
dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu:
ijma dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri
yaitu: Istihsan, istishab, Maslahah mursalah, Urf, Saddudzari’ah, dan madzhab
sahabi.
Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat Istihsan,
yang mencakup pengertian, macam-macamnya, kehujjahannya, kaidah-kaidahnya,
dan contoh-contoh produk hukumnya.
2
B .Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penulisan
dirumuskan sebagai berikut:
1.
Bagaimana deskripsi istihsan ?
2.
Apa macam istihasan?
3.
Apa dasar hukum istihsan?
4.
Bagaimana pendapat ulama yang berhujjah dengan istihsan dan bagaimana
pendapat ulama yang tidak berhujjah dengan istihsan?
C.Tujuan dan Manfaat
Penulisan
1. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui deskripsi alistihsan dalam Pendidikan
Agama Islam.
b. Memenuhi tugas mata kuliah Ushul fiqh semester III tahun akademik 2013-2014.
2. Manfaat Penulisan
a. Secara teoritis penulisan ini diharapkan
dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap khazanah ilmu Pendidikan Islam dalam bidang mata kuliah ilmu ushul fiqh.
b. Secara praktis penulisan ini diharapkan
dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan karya tulis
selanjutnya.
D.Sistematika
Penulisan
Sistematika penulisan dalam kajian ini adalah sebagai
berikut:
Bab I, Pendahuluan, terdiri atas:
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, dan
sistematika penulisan.
3
Bab II, Pembahasan,
terdiri atas: Definisi al ihtisan, macam-macam al istihsan, dasar hukum
istihsan, Kekuatan istihsan sebagai hujjah, Alasan ulama’ yang tidak berhujjah
dengan istihsan.
Bab III, Penutup, terdiri atas: kesimpulan dan saran.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Al Istihsan
1.1
Makna Etimologi
Istihsan menurut Etimologis (lughowi/bahasa)
adalah menganggap baik sesuatu[1].
“Memperhitungkan sesuatu lebih baik”, atau “adanya sesuatu itu lebih baik”,
atau “mengikuti sesuatu yang lebih baik”, atau
“”mencari yang lebih baik untuk di ikuti, karena memang di suruh untuk
itu”[2]. Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari
al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri
kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya
lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah;
meskipun hal itu dianggap tidak
baik oleh orang lain[3]
Dari lughawi di atas tergambar adanya
seseorang yang menghadapi dua hal yang keduanya baik. Namun ada hal yang
mendorongnya untuk meninggalkan satu di antaranya dan menetapkan untuk
mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang di anggapnya lebih baik untuk
diamalkan.
1.2
Makna Terminologi
Istihsan menurut terminologi/istilah ulama’ ushul adalah beralihnya
pemikiran seorang mujtahid dari tuntutan kias yang nyata kepada kias yang samar
atau dari hukum umum kepada perkecualian karena
ada kesalahan pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan itu[4]. Adapun pengertian
istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf [5].
هو عدول المجتهد عن قياس جلى الى مقتصنى قياس خفى او
عن حكم كلى الى حكم استسنائي انقدع فى اقله رجع لديه هذ العدول
5
“Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari
ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar),
atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i
(pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan)
yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut”.
Definisi istihsan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi
ialah penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang
menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang
serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya
penyimpanagan itu.
Definisi istihsan menurut Ibnul Araby ialah memilih
meninggalkan dalil, mengambil ruksah dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu
berlawanan dengan dalil yang lain pada sebagian kasus tertentu.
Sementara itu, ibnu anbary, ahli fiqih dari madhab
Maliky memberi definisi istihsan bahwa istihsan adalah memilih menggunakan
maslahat juziyyah yang berlawanan dengan qiyas kully[6].Istihsan
merupakan sumber hukum yang banyak dalam terminology dan istinbath hukum oleh
dua imam madhab, yaitu imam Malik dan imam Abu Hanifah. Tapi pada dasarnya imam
Abu Hanifah masih tetap menggunakan dalil qiyas selama masih dipandang tepat[7].
Apabila terjadi sesuatu peristiwa yang
tidak dapat nash hukumnya, maka dalam pembahasannya ada dua pendapat yang
berbeda: sudut pandang lahiriyah yang menghendaki suatu hukum. Dan sudut
pandang secara tersembunyi yang menuntut hukum
yang lain. Seorang mujtahid menemukan dalil yang memenangkan
pandangan secara tersembunyi, lalu
pindah ke sudut pandang lahiriyah. Inilah yang menurut syara’ yang disebut alistihsan.
Demikian juga jika hukum itu bersifat umum, sedangkan dalam diri mujtahid
ada dalil yang menuntut pengecualian atas sebagian hukum umum ini, lalu ia
menghukumi perkecualian itu dengan hukum yang lain. Maka ini juga di sebut al
ihtisan.
6
B.Macam-macam al istihsan
Dari pengertian al ihtisan secara syara’ dapat di tarik kesimpulan bahwa
alistihsan ada dua macam[8]:
1.
Mengunggulkan kias yang tersembunyi atas kias yang nyata dengan suatu dalil.
2.
Mengecualikan sebagian hukum umum dengan suatu dalil.
Contoh-contoh istihsan bentuk pertama:
1. Ulama fiqh kelompok hanafi menyebutkan bahwa seorang yang mewakafkan tanah sawahnya maka hak pengairan, minum dan jalan adalah termasuk tanpa harus menerangkan secara istihsan. Sedangkan menurut kias, hal-hal itu tidak termasuk kecuali dengan nash, seperti halnya jual beli. Adapun bentuk istihsannya; Tujuan wakaf adalah orang yang di beri hak wakaf dapat memanfaatkan barang yang di wakafkan. Sedangkan pemanfaatan tanah sawah itu harus memberi minum, mengairi, dan jalan, sehingga hal-hal itu termasuk wakaf tanpa menyebutkannya. Karena tujuan tidak dapat terwujud kecuali dengan hal-hal itu, seperti halnya sewa menyewa.
1. Ulama fiqh kelompok hanafi menyebutkan bahwa seorang yang mewakafkan tanah sawahnya maka hak pengairan, minum dan jalan adalah termasuk tanpa harus menerangkan secara istihsan. Sedangkan menurut kias, hal-hal itu tidak termasuk kecuali dengan nash, seperti halnya jual beli. Adapun bentuk istihsannya; Tujuan wakaf adalah orang yang di beri hak wakaf dapat memanfaatkan barang yang di wakafkan. Sedangkan pemanfaatan tanah sawah itu harus memberi minum, mengairi, dan jalan, sehingga hal-hal itu termasuk wakaf tanpa menyebutkannya. Karena tujuan tidak dapat terwujud kecuali dengan hal-hal itu, seperti halnya sewa menyewa.
Kias yang nyata adalah menyamakan wakaf contoh diatas dengan jual beli, karena
sama-sama mengeluarkan hak milik dari pemiliknya. Sedangkan kias yang
tersembunyi adalah menyamakan wakaf tersebut dengan sewa menyewa, karena
sama-sama demi pemanfaatan. Seperti masuknya pengairan, minum dan jalasedn
dalam bagian sewa menyewa tanah lumpur tanpa menyebutkannya, maka hal-hal itu
masuk juga dalam bagian wakaf tanah lumpur tanpa menyebutkannya.
Ahli fiqh ulama
hanafi menetapkan bahwa jika terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli
tentang harga barang sebelum barang itu diterima, lalu penjual mendakwa bahwa
harganya seratus pound sedangkan pembeli juga mendakwa bahwa harganya sembilan
puluh pound maka keduanya harus
bersumpah, menurut istihsan. Sedangkan kias menetapkan bahwa penjual tidak
bersumpah, karena penjual yang mendakwa
lebih banyak, yaitu sepuluh, sedangkan pembeli mengingkari, maka penjual
tidak wajib bersumpah. Alasan istihsannya bahwa penjual jelas orang yang
mendakwa bila dihubungkan dengan tambahan. Pengingkaran adalah hak pembeli
dalam penerimaan barang setelah menyerahkan 90 pound. Pembeli adalah jelas
orang yang mengingkari adanya tambahan yang di dakwakan oleh penjual yaitu
sepuluh, dan ia adalah pendakwa tentang hak penerimaan barang setelah
7
menyerahkan 90 pound. Jadi keduanya adalah pendakwa dari satu sisi dan
orang yang di ingkar di sisi lain, maka keduanya harus bersumpah.
Kias yang nyata: Menyamakan kejadian ini dengan semua
yang terjadi antara pendakwa dan orang yang ingkar, kesaksian itu wajib bagi
orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkari.
Kias yang tersembunyi: Menyamakan kejadian di atas dengan
setiap kejadian antara dua orang yang saling mendakwa. Masing-masing dalam
waktu bersamaan dikatakan sebagai pendakwa dan sekaligus orang yang ingkar,
maka keduanya harus bersumpah.
Contoh-contoh istihsan bentuk kedua:
Syar’i melarang jual beli atau akd pada barang yang tidak ada di tempat akad. Tetapi secara istihsan, diperbolehkan pesan memesan.
Syar’i melarang jual beli atau akd pada barang yang tidak ada di tempat akad. Tetapi secara istihsan, diperbolehkan pesan memesan.
C.Dasar Hukum Istihsan
para
ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah
yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar
dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18
tûïÏ%©!$# tbqãèÏJtFó¡o tAöqs)ø9$# tbqãèÎ6Fusù ÿ¼çmuZ|¡ômr& 4
y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# ãNßg1yyd ª!$#
( y7Í´¯»s9'ré&ur
öNèd (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$#
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu
mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang
Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”.
(QS. Az-Zumar: 18)
Ayat
ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan
mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali
untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
8
(#þqãèÎ7¨?$#ur z`|¡ômr& !$tB tAÌRé& Nä3øs9Î) `ÏiB Nà6În/§ `ÏiB È@ö6s% br& ãNà6uÏ?ù't Ü>#xyèø9$# ZptGøót/ óOçFRr&ur w crããèô±n@ ÇÎÎÈ
Artinya: Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak
menyadarinya. (QS. Az-Zumar: 18)
Menurut
mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik,
dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain
yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan
adalah hujjah
Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ
اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا
فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu
yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu
yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik
oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi
Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
Contoh istihsan macam pertama: Menurut Madzhab Hanafi:
bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang
diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan
sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menuryt qiyas jali hak-hak
tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual
beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual
kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting
ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan
mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting
ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa
barang. Demikian pula halnya dengan waqaf.
9
Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang
diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika
memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli
(qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang
diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain,
yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan ‘illatnya yaitu
mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi.
Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah
perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Contoh lain adalah mengenai sisa minuman burung buas,
seperti sisa burung elang burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal
diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman
binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum
karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu
diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya,
sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung
buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas. Mulut binatang buas
terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan
paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan
merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan
dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara oleh paruhnya, demikian pula air
liurnya. Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang
membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan
perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Contoh istihsan macam kedua: Syara’ melarang seseorang
memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum
ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh
macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kuIIi. Tetapi syara’
memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi
barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan,
atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian
diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian
rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian (istitana) dari hukum kulli
dengan menggunakan hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan
adat kebiasaan dalam masyarakat.
10
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab
Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan
qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada
suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada
ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut
mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat
mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya
adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi,
golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian
Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya
sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi’i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan
hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: “Siapa
yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’
berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara’
hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan:
“Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan
shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah
arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan
arah Ka’bah itu.”
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua
pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas
bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut
pendapat Madzhab Syafi’i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas,
dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang
menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian
pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan
dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan
pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya
Al-Muwâfaqât menyatakan: “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan
tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah
berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah
SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum”.
11
D.Kekuatan istihsan
sebagai hujjah
Dari definisi dan penjelasan kedua macam istihsan,
jelaslah bahwa pada hakikatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri
sendiri, karena dalil hukum yang berbentuk istihsan pertama adalah kias yang
tersembunyi yang di unggulkan dari pada kias yang nyata, sebab hal-hal tertentu oleh mujtahid di anggap lebih
unggul, dan itu adalah alasan istihsan. Sedangkan dalil hukum dari bentuk
istihsan yang kedua adalah kemaslahatan, yang menuntut
adanya
perkecualian bagian tertentu dari hukum umum, dan hal itu juga di anggap alasan istihsan.
Diantara orang-orang yang berhujjah dengan istihsan
adalah mayoritas kelompok hanafi. Mereka beralasan: Pengambilan dalil dengan
istihsan adalah mengambilan dalil dengan kias yang samar yang mengalahkan kias
yang nyata, atau memenagkan kias atas kias lain yang menentangnya karena
kepentingan umum dengan cara mengecualikan sebagian dari hukum umum. Dan semua
itu pengambilan dalil yang benar.
E.Alasan ulama yang tidak
berhujah dengan istihsan
Sebagian kelompok mujtahid menginkari kebenaran
istihsan, mereka menganggapnya sebagai pembentukan hukum berdasarkan hawa
nafsu dan seenaknya sendiri. Diantara
tokohnya adalah Imam Syafii, seperti telah di nukil darinya; Siapa yang menggunakan
istihsan berarti ia membuat syariat. Artinya orang itu membuat syariat sendiri.
Ditetapkan dalam Risalah Ushuliyahnya: perumpamaan orang yang menetapkan
hukum dengan istihsan adalah seperti
orang sholat menghadap ke arah yang di
anggap baik itu ka’bah, tanpa menggunakan dalil-dalil yang di tetapkan oleh
syar’i dalam menetukan arah ka’bah. Dalam kitab itu disebutkan bahwa istihsan
adalah berenak enak, seandainya melakukan istihsan dalam agama itu
diperbolehkan, niscaya bolehjuga dilkukan orang-orang yang punya akal meskipun
bukan ahli ilmu. Dan niscaya boleh menciptakan Syariat dalam agama di
setiappermasalahan, serta setiap orang boleh membuat syariat untuk dirinya
sendiri.
12
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.Kesimpulan
Istihsan adalah mengambil maslahah yang merupakan
bagian dalam dalil yang bersifat kully(menyeluruh) dengan mengutamakan
al-istidlal al-mursal daripada qiyas. Dari Ta’rif di atas, jelas bahwa
al-istihsan lebih mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu
dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam kata lain
sering dikatakan bahwa al-istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas yang
lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan.
Tegasnya, al-istihsan selalu melihat dampak sesuatu ketentuan hukum, jangan
sampai membawa dampak merugikan tapi harus mendatangkan maslahah atau
menghindari madarat, namun bukan berarti istihsan adalah menetapkan hukum atas
dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari satu dalil ke dalil yang lebih
kuat yang kandungannya berbeda.
Dari pengertian al ihtisan secara syara’ dapat di tarik kesimpulan bahwa
alistihsan ada dua macam:
1.
Mengunggulkan kias yang tersembunyi atas kias yang nyata dengan suatu dalil.
2.
Mengecualikan sebagian hukum umum dengan suatu dalil.
para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil
dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian
denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam
surah Al-Zumar: 18
Dari definisi dan penjelasan kedua macam istihsan,
jelaslah bahwa pada hakikatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri
sendiri, karena dalil hukum yang berbentuk istihsan pertama adalah kias yang
tersembunyi yang di unggulkan dari pada kias yang nyata, sebab hal-hal tertentu oleh mujtahid di anggap lebih
unggul, dan itu adalah alasan istihsan. Sedangkan dalil hukum dari bentuk
istihsan yang kedua adalah kemaslahatan, yang menuntut Dari definisi dan penjelasan kedua macam
istihsan, jelaslah bahwa pada hakikatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang
berdiri sendiri, karena dalil hukum yang berbentuk istihsan pertama adalah kias
yang tersembunyi yang di unggulkan dari pada kias yang nyata, sebab
hal-hal tertentu oleh mujtahid di anggap
lebih unggul, dan itu adalah alasan istihsan.
13
Sedangkan dalil hukum dari bentuk istihsan yang kedua
adalah kemaslahatan, adanya perkecualian bagian tertentu dari hukum umum, dan
hal itu juga di anggap alasan istihsan.
kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama
yang menolak istihsān, ki ta dapat melihat bahwa yang mendorong mereka
menolaknya adalah karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang
mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan
logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan
sebelumnya, yaitu bahwa istihsān sendiri mempunyai batasan yang harus
diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini sebenarnya hanya
menolak istihsān yang hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa
dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.
B.Saran
banyak perbedaan di kalangan para ulama
mengenai istihsan . Mengenai perbedaan ini sudah kami bahas dan kami jelaskan
di makalah ini. Kami menyadari dalam makalah kami ini masih banyak kekurangan
dan kesalahan, dan kami berharap bahwa makalah ini untuk ada yang melanjutkan
dan membahasnya kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah
Muhammad, Ushul Fiqih, (Pustak Firdaus :Jakarta, 1999)
Khallaf Abdul
Wahhab, Ilmu ushul fikih, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003)
Syarifuddin
Amir, Ushul fiqh jilid II, (Jakarta: Kencana, 2011)
Lih. Lisan al-‘Arab, 13/117
elek gx rapi
BalasHapuselek gx rapi
BalasHapusmakasih bagus makalahnya tapi bingung banyak bangett
BalasHapus